I'm here

Nama:Rizka Dirrasty
Npm:12109624
Kelas: 4 Ka 17





Kamis, 14 April 2011

Krisis Ekonomi Amerika Dongkrak Cadangan Devisa Indonesia

Apabila pemerintah Amerika menghentikan paket stimulus dalam beberapa bulan ke depan, ekonomi Amerika akan mengalami double dip recession, kata Profesor Iwan J. Azis, menjawab pertanyaan VOA tentang dampak krisis ekonomi Amerika terhadap ekonomi regional Asia, termasuk Indonesia.
Namun, dosen dan direktur Studi Pasca Sarjana pada Universitas Cornell ini mengatakan, kelesuan ekonomi di Amerika ini justru meningkatkan cadangan devisa Indonesia berkat hot money milik investor yang dialirkan ke pasar bursa Asia, termasuk pasar bursa Indonesia.
“Itulah yang menjelaskan mengapa cadangan devisa di negara-negara lain, mulai naik, termasuk Indonesia. Sayangnya, kenaikan cadangan devisa ini lebih banyak datang dari uang yang digolongkan sebagai uang panas (hot money). Artinya uang itu datang ke Indonesia hari Senin tetapi kemudian pergi (dari Indonesia) hari Rabu. Ini bisa menimbulkan ketidakstabilan,” kata Profesor Iwan Azis.
Bank Indonesia, seperti dikutip situs International Business Times, memperkirakan cadangan devisa Indonesia pada akhir tahun 2010 akan naik jadi 81,3 miliar dolar Amerika.
Perubahan Pola Perdagangan
Profesor Iwan mengatakan, krisis ekonomi Amerika juga mengubah pola perdagangan barang setengah jadi dan barang jadi di Asia, termasuk Indonesia. Selama ini, Amerika merupakan pasar tradisional bagi barang jadi Indonesia. “Pemerintah Indonesia sebaiknya mencari pasar baru untuk barang jadi Indonesia. Pendapatan ekspor lebih menjamin stabilitas daripada investasi hot money di pasar bursa,” kata Profesor Iwan.
Di tingkat regional, ASEAN mengekspor bahan baku dan barang setengah jadi ke Tiongkok, yang dikenal sebagai pabrik dunia. Barang jadi itu kemudian di jual ke Amerika dan Eropa. Kini, Tiongkok berusaha keras untuk mencari pasar-pasar yang baru.
Tak Ubah Persepsi
Profesor Iwan mengatakan, krisis ekonomi Amerika tidak mengubah persepsi masyarakat internasional akan status Amerika sebagai negara adikuasa karena ukuran ekonomi negeri ini masih yang terbesar di dunia.
“Ada keyakinan bahwa pemerintah Amerika tak akan ngemplang utang orang dalam investasi portfolio. Orang tak pernah berpikir bahwa pemerintah Amerika akan melakukan sesuatu seperti yang dilakukan pemerintah Argentina tahun 2002, ” kata Profesor Iwan.



Agar mendapatkan pemahaman yang lebih luas, berikut ini wawancara dengan Profesor Iwan J. Azis.
Departemen Perdagangan Amerika baru saja mengumumkan ekonomi Amerika tumbuh melambat 2,4 persen di kuartal kedua. Alasan perlambatannya tidak dijelaskan secara rinci di media massa. Pak Aziz bisa menjelaskannya?
Ada dua faktor. Pertama adalah berakhirnya paket stimulus. Kita bisa membayangkan, ekonomi yang digelontori triliunan dolar --- seperti yang terjadi di Amerika sejak lebih dari setahun yang lalu --- akan tumbuh tinggi. Tetapi, begitu stimulus triliunan dolar itu diambil (dihentikan), pertumbuhan ekonomi akan melambat. Itu jawaban pertama.
Jawaban kedua dari sudut investor. Sekarang (ini) stock dan inventory mereka mulai penuh sehingga mereka tak perlu menambah stok. Akibatnya, permintaan dari mereka pun, menurun. (Hal) itu menjelaskan mengapa terjadi penurunan/perlambatan (pada ekonomi Amerika).
Bagaimana Pak Iwan menjelaskan, impor meningkat di pasar Amerika yang lesu?
Impor itu intinya ada dua kategori yaitu impor barang konsumsi dan impor barang modal atau intermediate goods. Kalau barang konsumsi itu, memang, sudah beberapa dasawarsa di Amerika. Gejala itu disebut low domestic elasticity artinya kontribusi produk dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan domestik, sangat kecil.
Kalau ada permintaan yang naik di Amerika, bisa saja permintaan itu permintaan konsumen, bisa juga permintaan investor, selalu dipenuhi oleh pasokan dari luar negeri. Ambil contoh: konsumsi, misalnya permintaan konsumsi naik. Barang konsumsi yang dibeli konsumen banyak yang import. Faktornya antara lain adalah harga. Contoh banyak barang konsumsi datang dari Asia, khususnya dari Tiongkok karena harganya lebih murah.
Barang modal pun demikian juga. Jadi, intermediate goods yang diminta atau dipakai oleh industri-industri Amerika masih cukup banyak yang diimpor sehingga itu yang menjelaskan mengapa setiap kali ada sedikit saja permintaan dari dalam negeri di Amerika, diisi oleh impor.
Apa yang akan terjadi bila tak ada stimulus dalam 12 bulan ke depan?
Double dip recession (krisis baru terjadi menyusul pertumbuhan ekonomi yang dipicu paket stimulus). Meskipun pertumbuhan ini tidak melambat, saya menduga angka pengangguran akan tetap tinggi paling tidak antara 7 hingga 8 tahun ke depan. Nah sekarang, dengan melambatnya ekonomi, pengangguran itu akan berlangsung lebih lama lagi, mungkin satu dasawarsa lagi, barulah angka pengangguran itu menurun lagi. Yang paling berat (dalam krisis ini) adalah lapangan pekerjaan.

Kalau sudah menyangkutunemployment, itu menjadi barang baru lagi karena itu akan mempengaruhi confidence dari pasar, confidence konsumen mau pun investor. Dan kalau kita gabung stimulus package yang dikurangi dan confidence pasar yang menurun, itu akan membuat double digit recession.
Kalau Amerika seperti ini, konfigurasi supply and demand berubah. Apa yang dilakukan negara lain?
Kalau dari sudut pasar, untuk menjual barang-barang ekspor mereka (negara-negara lain), memang Amerika tak bisa diandalkan lagi. Negara-negara Asia, khususnya Tiongkok, harus berpikir keras untuk mencari pasar baru karena selama ini, pasar tradisional mereka adalah Amerika dan Eropa. Apalagi untuk 10 atau 20 tahun ke depan, kedua pasar itu tak bisa diandalkan lagi.
Tetapi, kalau dari sudut kepercayaan terhadap mata uang Amerika, selama ini masih cukup besar dan itu yang menjelaskan mengapa nilai dolar itu tidak ambruk. Memang terjadi depresiasi tetapi tidak ambruk. Padahal di seluruh dunia, kalau krisis seperti yang terjadi di Amerika, nilai tukar pasti ambruk.
Faktor non-ekonomi apa yang membuat dunia internasional masih menaruh kepercayaan kepada Amerika meski dolar mengalami depresiasi dan ekonominya mengalami krisis?
Suka atau tak suka, Amerika adalah negara adidaya. Jadi, Amerika masih (merupakan) ekonomi terbesar di dunia dan juga ada keyakinan bahwa American government will never default (ngemplang utang orang). Ini saya pikir cukup merata ini. Tak ada negara yang membayangkan, pemerintah Amerika akan mendefault utang-utang mereka. Jadi kalau Anda menaruh uang di Amerika, misalnya Anda membeli bonds atau obligasi dari pemerintah Amerika, Anda pasti yakin bahwa itu akan terbayar. Karena Anda tak pernah akan berpikir bahwa pemerintah Amerika akan melakukan sesuatu seperti yang dilakukan pemerintah Argentina tahun 2002 itu. Ada keyakinan seperti itu bahwa pemerintah tidak akan men- default their debts.
Apakah tingginya niat investor asing membeli obligasi pemerintah Amerika juga ikut mempengaruhi kepercayaan investor asing menanam modal di sektor riil di sini?
Agak sulit. Mengapa? Karena investor itu pada dasarnya ingin mencari keuntungan dan keuntungan itu berasal dari hasil penjualan produknya. Investasi tak akan terjadi, kalau domestic market di Amerika masih ditandai oleh pengangguran tinggi dan daya beli masyarakat masih relative rendah. Apalagi ada gejala menarik yakni konsumen Amerika sekarang ini melakukan hal yang seharusnya mereka lakukan waktu ekonomi booming tetapi justru dilakukan sekarang yaitu saving. They are doing thing at the wrong time. Seharusnya sekarang ini orang Amerika harus membelanjakan uang karena 70 persen dari ekonomi Amerika berasal dari konsumsi. Secara konsep, melakukan investasi memang hal (yang) baik yang seharusnya terjadi. Yang saya khawatir adalah lebih banyak investasi bukan dalam bentuk FDI (foreign direct investment) tetapi dalam bentuk portfolio, yakni membeli obligasi pemerintah Amerika.
Ketika ekonomi Amerika seperti ini, apa yang dilakukan pengusaha dan pemerintah Indonesia?
Indonesia harus berpikir keras untuk mencari alternative traditional market karena selama ini suka atau tak suka pola perdagangan di Asia termasuk Indonesia ada dua. Pertama, untuk barang setengah jadi atau intermediate goods, pola perdagangannya yang terbesar adalah antara Asia sendiri. Misalnya ASEAN mengekspor bahan baku dan intermediate goods ke Tiongkok kemudian diproses menjadi barang jadi. Kemudian, barang jadi itu dijual ke Eropa dan Amerika. Kedua, untuk barang jadi, pasar tradisional Indonesia adalah Amerika dan Eropa. Jadi, implikasi dari apa yang terjadi di Amerika dan Eropa sekarang yaitu resesi dan melemahnya perekonomian mereka itu adalah negara Asia mencari pasar baru dan pasar baru itu tidak lain dan tidak bukan adalah mereka sendiri. Itulah sebabnya intra regional trade di Asia harus naik untuk dua jenis barang ini yakni intermediate goods dan final goods.
Yang kedua adalah jalur finance: akibat dari apa yang terjadi di Amerika dan Eropa, pemilik modal mencari destinasi yang lebih aman dan menjanjikan return yang lebih tinggi. Jawabannya adalah emerging market termasuk Asia. Itulah yang menjelaskan mengapa cadangan devisa di negara-negara lain, mulai naik, termasuk Indonesia. Nah sayangnya, kenaikan cadangan devisa itu, lebih banyak karena uang-uang yang saya katakan tadi sebagai hot money. Artinya uang itu datang (ke Indonesia) hari Senin lalu pergi (dari Indonesia) hari Rabu. Ini bisa terjadi ketidakstabilan. Jadi, seharusnya yang ideal adalah kenaikan devisa karena ekpsor. Tetapi karena perkembangan di Eropa, sekarang ini banyak sekali hot money masuk ke asia.
Reformasi Wall Street. Seberapa cepat pengaruhnya dirasakan?
Pengaruhnya jangka panjang. Karena sebetulnya itu semacam mengoreksi diri karena selama ini terlalu bebas terutama untuk investment bank termasuk hedge funds. Sangat bebas pergerakan mereka sehingga mereka melakukan hal-hal yang spekulatif dan itulah salah satu penyebab dari krisis yang terjadi di Amerika.
Financial regulation yang dikeluarkan pemerintahan Presiden Obama ini merupakan upaya untuk mencegah terjadinya lagi peristiwa seperti dua tahun yang lalu itu.. Dari sudut itu, reformasi itu ada benarnya. Namun, bila dilihat dari sudut recovery, pengaruhnya belum terasa karena hasilnya baru terlihat dalam jangka panjang.

KRISIS DAN PEMBAHARUAN EKONOMI-MONETER.

Pembahasan ini secara singkat memandang perkembangan terjadinya krisis di Indonesia, dari tertekannya nilai tukar rupiah menjadi krisis moneter (krismon), setelah meluas dan mendalam menjadi krisis total (kristal), menyangkut hampir semua aspek kehidupan masyarakat. Proses ini tedadi secara cepat, meluas dan mendalam, jauh melampaui perkiraan kebanyakan orang, termasuk para ahli, bahkan mereka yang pesimis sekalipun.

Analisis mengenai terjadinya krisis di Asia, termasuk Indonesia, banyak dilakukan sejak timbulnya gejolak yang berkembang menjadi krisis ini. Saya kira hal ini akan berlangsung cukup lama; menganalisis mengenai sebab tedadinya, pola-pola proses terjadinya, kesamaan dan perbedaan kasus yang satu dengan yang lain, mengapa demikian dan bagaimana menghindarinya di masa depan atau apa yang dapat diambil sebagai pelajaran dari krisis ini. Berbagai pakar terkenal dari berbagai universitas ataupun lembaga-lembaga penelitian di A.S., Eropa dan Asia telah, sedang dan akan melakukan studi mengenai permasalahan ini. Nama-nama ahli ekonorni terkemuka, seperti Paul Krugman, Rudi Dombusch, Martin Feldstein, Fred Bergsten, Jeffrey Sachs, Stanley Fischer dan banyak yang lain telah memenuhi media cetak dan elektronik yang menyebar luaskan pandangan atau analisis mereka mengenai permasalahan ini. Kebanyakan tulisan mereka dapat diikuti dari internet dengan mudah. Saya sendiri baru saja pulang dari perjalanan selama lebih dari satu bulan di berbagai negara, memenuhi berbagai undangan pertemuan yang membahas masalah serupa.

Saya tidak akan membahas pendapat-pendapat tersebut, kecuali secara singkat mencoba mensarikan bagaimana kita menerangkan apa yang terjadi. Kalau dilihat dari proses terjadinya, krisis tersebut didahului oleh suatu euphoria, adanya pertumbuhan yang tinggi dalam kurun waktu yang lama yang digambarkan sebagai economic miracle a.l. oleh Bank Dunia) timbul perkembangan yang menampakkan tanda-tanda adanya bubbles seperti ekspansi real estates yang kelewat besar dan pertumbuhan pasar saham yang luar biasa bersamaan dengan masuknya dana luar negeri berjangka pendek secara berlebihan). Dalam keadaan tersebut kemudian timbul gejolak yang menyebabkan suatu distress dan melalui dampak penularan yang sistemik (contagion effects) menjadi crisis. Krisis tersebut semula terjadi di sektor keuangan-perbankan, kemudian melebar menjadi krisis ekonomi yang secara sistemik melebar menjadi krisis sosial, politik dan akhimya krisis kepemimpinan nasional. Ini mungkin lebih tepat untuk digunakan menggambarkan perkembangan krisis di Indonesia, akan tetapi secara umum apa yang terjadi di negara-negara lain di Asia, terutama Thailand dan Korea Selatan, juga serupa.

Uraian saya dimulai dengan menyajikan terjadinya krisis secara kronologis. Akan tetapi, secara analitis saya berpendapat bahwa krisis ini terjadi karena timbulnya gejolak ekstern yang melalui proses dampak penularan yang sistemik melanda ekonomi nasional. Dengan struktur keuangan yang masih lemah, maka perkembangan tersebut menimbulkan krisis yang meluas, dari ekonomi-moneter ke seluruh aspek kehidupan masyarakat. Proses penularan ini terjadi karena lemahnya struktur ekonomi, tatanan sosial, hukum dan politik yang mempertajam masalah ini menjadi sistemik. Setelah itu saya akan membahas berbagai hal yang menyangkut pelajaran apa yang dapat kita tarik bagi para pelaku; para perumus kebijaksanaan, dunia usaha utamanya sektor keuangan dan masyarakat luas, termasuk dunia akademi.

Uraian, cacatan ataupun pesan ini saya kemukakan dengan harapan untuk memadukan upaya kita bersama, seluruh unsur yang mendukung gerakan reformasi total, guna keluar dari krisis ini, agar dalam waktu yang tidak terlalu lama dan korban yang tidak terlampau besar, mampu mengembalikan kehidupan ekonomi nasional tagi dengan sikap baru, hasil dari langkah-langkah pembaruan bangsa yang didambakan oleh gerakan reformasi.

DARI KRISIS MONETER KE KRISIS TOTAL

Seperti disinggung di atas, perdebatan mengenai krisis keuangan atau krisis ekonomi di Asia ini masih beriangsung. Studi dan seminar untuk memeperdebatkan mengenai berbagai aspek dari permasalahan ini nampaknya masih akan bedalan sampai beberapa waktu.

Krisis itu sendiri di dalam laporan IMF, World Economic Outlook yang baru digolongkan menjadi berbagai jenis, seperti currency crisis, banking crisis, sistemic financial crisis dan foreign debt crisis. Dari segi asal timbulnya krisis laporan ini nampaknya menggambarkan bahwa, pada dasarnya krisis merupakan akibat dari gejolak finansial atau ekonomi dalam perekonomian yang mengidap kerawanan. Kerawanan perekonomian bisa terjadi karena unsur-unsur yang pada dasarnya bersifat internal, seperti kebijaksanaan makro yang tidak sustainable, lemahnya atau hilangnya kepercayaan terhadap mata uang dan lembaga keuangan dan ketidak stabilan politik, atau yang berasal dari faktor eksternal, seperti kondisi keuangan global yang berubah, misalignment dari nilai tukar mata uang dunia (dollar dengan yen), atau perubahan cepat dari sentimen pasar yang meluas karena herd instinct dari pelaku dunia usaha.

Dewasa ini pandangan-pandangan mengenai sebab timbulnya krisis yang beraneka ragam tersebut, mungkin dapat digolongkan menjadi dua kelompok; pertama yang mengatakan bahwa sebab utamanya adalah masalah internal ekonomi nasional, terutama lemahnya lembaga keuangan (perbankan). Ini pokok dari argumentasi Paul Krugman, ahli ekonomi kenamaan dari Stanford University. Kedua, yang mengatakan bahwa krisis ini timbul dari perubahan sentimen pasar, masalah eksternal, yang diperkuat dengan contagion effects. Ini berasal dari Jeffrey Sachs, ahli ekonomi dari Harvard University.

Saya melihat bahwa apa yang terjadi di Indonesia dimulai dengan dampak dari proses penularan, dimana rupiah tertekan di pasar mata uang setelah dan bersamaan dengan apa yang terjadi di negara-negara tetangga, dimulai dengan depresiasi yang drastis dari baht Thailand. Akan tetapi kemudian dengan langkah kebijakan yang dilakukan dan implikasi dari padanya (pelebaran rentang kurs intervensi, pengambangbebasan rupiah, intervensi BI dan pengetatan likuiditas), terjadi proses yang bersifat downward spiral dari proses penularan, sehingga gejolak kurs rupiah menjalar menjadi masalah tertekannya perbankan (karena kelemahan sektor ini). Ketidakpercayaan terhadap rupiah menjalar menjadi ketidak percayaan terhadap perbankan (adanya flights to quality danflights to safety) yang menimbulkan krisis perbankan. Dalam keadaan ini bank tidak hanya ditinggalkan deposan akan tetapi juga ditinggalkan bank lain (terganggunya pasar uang antar bank yang tersekat-sekat), termasuk akhirnya bank-bank mitra usaha di luar negeri (penolakan L/C dari bank nasional oleh bank luar negeri). Krisis perbankan kemudian menjalar ke pada nasabah mereka (mahalnya atau hilangnya kredit bank), sehingga masalah sektor keuangan langsung berpengaruh negatif terhadap sektor riil (kegiatan konsumsi, produksi, perdagangan dan investasi). Dari perkembangan ini secara cepat krisis keuangan ini menjadi krisis sosial (perusahaan yang tidak memperoleh pinjaman bank mulai melakukan PHK terhadap karyawannya), dan kemudian menimbulkan krisis dalam kehidupan politik yang memuncak dengan terjadinya krisis kepemimpinan nasional yang sampai sekarang belum terselesaikan.

Mengenai perkembangan terjadinya krisis, mungkin secara kronologis dapat disebutkan secara singkat, apa yang terjadi sejak bulan Juli 1997, sebagai berikut :

tertekannya nilai tukar rupiah setelah terjadi hal yang serupa terhadap baht Thailand yang diikuti dengan pengambangan baht tanggal 2 Juli 1997 dan peso Pilipina 11 Juli 1997.

dilakukan pelebaran kurs intervensi rupiah dari 8% menjadi 12% pada 11 Juli 1997, setelah dilakukan pelebaran sebanyak enam kali sejak 1994.

dilakukan penghapusan rentang kurs intervensi atau pengambangbebasan rupiah pada tanggal 14 Agustus 1998.

dilakukan intervensi dalam pasar valas menghadapi tekanan yang timbul baik setelah pelebaran kurs intervensi maupun setelah 14 Agustus 1997. Hal ini diikuti dengan langkah-langkah yang biasa dilakukan untuk mempertahankan kurs dengan intervensi, yaitu pengetatan likuiditas melalui kebijakan moneter dan fiskal dengan berbagai bentuknya (penundaan pengeluaran anggaran, peningkatan suku bunga SBI dan pengubahan deposito milik BUMN ke dalam SBI).

langkah -langkah kebijakan makro dan sektoral 3 September 1997, suatu "self imposed IMF program "

keputusan untuk meminta bantuan IMF awal Oktober 1997.

perundingan dengan IMF yang menghasilkan 'letter of intent' pertama, 31 Oktober 1997, dari precautionary menjadi standby arrangement. Program yang akan diimplementasikan meliputi kebijakan pengendalian moneter dan nilai tukar, langkah-langkah fiskal, restrukturisasi sektor keuangan dan restrukturisasi sektor riil.

kebijakan pencabutan ijin usaha 16 bank dan implikasinya.

pencairan pinjaman tahap pertama $3 milyar dari pinjaman IMF $10 milyar sebagai bagian dari paket $43 milyar. Intervensi pasar valas bersama Jepang dan Singapore yang berhasil, kemudian implementasi program dengan dukungan IMF yang kurang lancar (masalah tuntutan terhadap Gubernur BI dan Menkeu di PTUN, ketidakjelasan pelaksanaan penghapusan monopoli dan penundaan proyek-proyek serta pelaksanaan kebijakan moneter yang seret) dan reaksi pasar yang negatif

proses terjadinya 'letter of intent' kedua, 15 Januari 1998, didahului dengan desakan G7.

reaksi pasar terhadap kemungkinan pencalonan Habibie sebagai Wapres.

pelaksanaan restrukturisasi perbankan dengan pemberian garansi terhadap semua deposito, giro, tabungan dan pinjaman perbankan serta pendirian BPPN.

heboh CBS, usulan Steve Henke, dan implikasi yang ditimbulkan.

keputusan BPPN membekukan 7 bank serta melaksanakan pengawasan intensif terhadap 7 bank lain.

perundingan Pemerintah dengan IMF yang menghasilkan "Memorandum Tambahan tentang Kebijaksanaan Ekonomi dan Keuangan", yang ditanda tangani Menko Ekuin pada tanggal 9 April 1998.

pencairan pinjaman tahap ke dua sebesar $1 milyar.

penyelesaian pinjaman swasta dengan berbagai perundingan di Tokyo, New York dan Frankfurt

Pengumuman Kabinet Reformasi dan pemberian status independen ke pada Bank Indonesia setelah pergantian Presiden dari Soeharto ke Habibie.

Mungkin berkaitan dengan apa yang terjadi serta langkah kebijaksanaan yang dilakukan dapat dikemukakan berbagai kejadian dan tindakan yang memerlukan kejelasan mengenai mengapa tejadi demikian, atau dari kebijaksanaan yang diambil mengapa suatu langkah tertentu diambil, mengapa bukan langkah yang lain. Berbagai hal dibawah mungkin menarik untuk dibahas (dikemukakan di sini bukan untuk mendukung atau menolak, tetapi untuk menarik pelajaran yang berguna di masa depan atau untuk pengembangan pendekatan. Pada berbagai kesempatan diskusi mengenai permasalahan-permasalahan ini perlu dilakukan):

mengenai pengambangan bebas rupiah; mengingat dampak yang begitu meluas, apakah tidak sebaiknya diterapkan sistim lain? Ini menyangkut diskusi mengenai sistim pengelolaan kurs, apakah tetap atau fleksibel, diikat pada suatu mata uang atau basket. Apakah CBS bukan altematif yang dapat diterapkan?

mengenai aliran modal; apakah pengaturan bukan merupakan altematip yang terbuka?

mengenai restrukturisasi perbankan; apakah penutupan 16 bank memang harus dilakukan? Apakah tindakan BI melakukan penyelamatan perbankan dengan bantuan likuiditas merupakan tindakan yang tepat? Apa ada cara lain yang perlu ditempuh?

mengenai peran IMF apakah meminta bantuan IMF merupakan langkah yang tepat atau apakah ada altematif lain? Bagaimana sikap terhadap bantuan IMF?

mengenai pinjaman swasta; mengapa terjadi pembengkakan pinjaman perusahaan swasta? Mengapa dibiarkan terjadi? Apakah BI tidak mengetahui?

mengenai pengelolaan moneter; apa makna dan implikasi memberikan otonorni ke pada bank sentral?

Dalam berbagai kesempatan saya akan membahas atau membuat catatan mengenai berbagai permasalahan di atas, sebagian untuk menjelaskan apa yang tejadi dan mengapa dilakukan atau tidak dilakukan suatu langkah tindakan pada waktu yang bersangkutan, sebagian merupakan jawaban ke pada berbagai kritik yang dilancarkan, yang tidak selalu tepat. Sebagian mungkin merupakan pertanggung jawaban saya sebagai penanggung jawab dari berbagai kebijakan yang diambil selama menjalani jabatan saya.

Apa yang dapat dipetik sebagai pelajaran dafi krisis yang tedadi ini? Saya ingat pada teman saya, Dr Andrew Sheng, Deputy Chief Executive, Hongkong Monetary Authority yang menyebutkan adanya dua pelajaran yang dapat ditarik. Saya sangat sependapat dengan dua palajaran tersebut, yaitu pertama, the sooner the better. Ini dalam hal menyadari dan mengidentifikasi secara akurat mengenai masalah yang dihadapi dan kemudian menanganinya secara tepat, cepat dan konsisten. (Ingat, dalam kasus Indonesia, berkali-kali dikemukakan berbagai pihak secara tepat mengenai tidak nampak adanya sense of crisis dari pemerintah maupun dari sebagian masyarakat). Karena cepatnya perkembangan dan sifatnya yang menular (contagious), maka semakin tertunda penanganannya, semakin besar pula masalahnya, demikian pula biaya atau korban yang timbul dari upaya penyelesaiannya. Saya dapat melihat hal ini secara jelas dari pengalaman menangani masalah perbankan, semakin tertunda penyelesaiannya, semakin rumit masalahnya, semakin mahal biayanya. Kedua, the problems are always worse than expected. Ini berlaku bagi otorita yang bertanggung jawab menangani maupun dunia usaha ataupun pakar yang menggampangkan masalahnya dengan mengusulkan jalan keluar yang tidak operasional.

Nampaknya baik dalam penanganan terhadap krisis ekonomi maupun masalah politik, pimpinan nasional di bawah mantan Presiden Soeharto kurang memahami pelajaran ini, artinya pada dasarnya tidak bersedia menerima pernilaian yang akurat, karena kenyataan yang tidak enak. Atau terlambat menerima kenyataan, dan masalahnya telah menjadi sangat besar, sehingga upaya penyelesaiannya tidak memadai, too little and too late, kata orang. Dan atau menganggap enteng masalahnya. Kalau masalah yang dihadapi memang kompleks dan rumit, cara menjelaskan yang disederhanakan memang menolong kita untuk menunjukkan arah penyelesaiannya. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa masalahnya kemudian berubah menjadi sederhana atau gampang, jalan keluar yang efektif juga tidak sederhana. Kita harus berani menerima bahwa masalahnya lebih besar dari yang kita harapkan atau perkirakan. Karena tidak tanggap terhadap pelajaran ini, maka konsekuensinya yang pahit harus diterima.

Menghadapi ekonomi pasar yang semakin bebas dan terbuka secara global kedua pelajaran tersebut harus diperhatikan. Bahkan perkembangan menunjukkan, bahwa kehidupan sosial politik yang semula serba bisa diatur telah mengalami perubahan yang menampakkan sifat serupa ekonomi pasar yang menuntut pimpinan nasional tanggap terhadap kedua hal di atas, atau menerima konsekuensinya kalau meremehkannya. Pimpinan sekarang akan mengalami nasib serupa, kalau tidak mau belajar dari pengalaman ini.

MELIHAT KE DEPAN.

Dalam keadaan ini melihat prospek ekonomi nasional sangat sulit dilakukan, kecuali perasaan yang mengatakan ballwa masalahnya sangat berat dan keadaan ini diperkirakan akan berjalan lama. Akan tetapi ini sangat tidak memuaskan. Seberat apapun, kita harus mempunyai perkiraan dan ekspektasi, kalau tidak berani melakukan prediksi, mengenai bagaimanakah prospek ekonomi nasional kita, jangka pendek maupun yang lebih panjang.

Memang harus diakui bahwa, dalam perkembangan yang sangat cepat ini masa depan semakin mengandung sifat tidak pasti. Ini yang menjadikan orang semakin myopic, hanya marnpu melihat keadaan yang sangat dekat dengan dirinya. Kalu disertai sikap seolah-olah tiada hari esok (aji mumpung), hal ini dapat menumbuhkan perilaku seseorang atau kelompok yang merugikan kepentingan yang lebih besar atau dalam jangka panjangnya, meskipun seolah-olah menguntungkan saat ini atau bagi yang melakukan. Dihadapkan kepada situasi seperti ini ada yang berpendapat bahwa mempelajari sejarah, mempelajari pengalaman masa lalu tidak ada manfaatnya, karena masa depan kan tidak pasti, yang pasti justru perubahan itu sendiri. Orang yang ambisinya kelewat besar, tidak sesuai dengan kemampuannya, mengatakan those who study history don't make history. Saya berpendapat bahwa mempelajari pengalaman masa lalu tetap berguna, bahkan dalam dunia yang terus mengalami perubahan. Memang untuk mempersiapkan diri guna menghadapi masa depan yang tidak menentu, belajar sejarah seolah-olah tidak ada gunanya. Akan tetapi dengan mempelajari pengalaman yang lalu kita masih memperoleh manfaat, yaitu kemampuan untuk tidak membuat kesalahan yang serupa.

Jadi bagaimana kita menghadapi krisis ini? Untuk saya, yang penting pada taraf permulaannya adalah memiliki peta yang jelas dari seluruh masalah yang dihadapi oteh bangsa ini, baik aspek ekonomi, sosial maupun politik. Kita semakin yakin bahwa aspek-aspek kehidupan ini memang terkait yang satu dengan yang lain. Tetapi setelah gambaran atau peta masalah tadi menjadi jelas, kita perlu menyadari bahwa tidak mungkin semua dilaksanakan segera dan bersamaan. Dengan lain perkataan perlu dibuat prioritas. Ini bukan pekerjaan yang mudah. Akan tetapi kalau gambarannya jelas, termasuk kaitannya yang satu dengan yang lain, menyusun prioritas untuk dijadikan program saat ini dan selanjutnya, jangka pendek, menengah dan panjang akan menjadi lebih gampang. Setelah itu program harus dilaksanakan secara berdisiplin. Ada teman yang mengatakan, we need good programs, good implementation and....... good luck. Ini harus disertai catatan, the sooner the better, the longer the costlier.

Dalam hal penentuan prioritas, saya berpendapat bahwa terlebih dahulu bangsa kita harus keluar dari krisis yang telah secara total melanda kehidupan ini. Ibarat orang sakit, saat krisis harus dilalui dahulu dengan menciptakan kestabilan. Pendarahan harus dihentikan dahulu. Masalah krisis itu sendiri dari segi penanganannya masih berkisar pada belum adanya kepercayaan yang mantap. Untuk seturuh kehidupan dalam masyarakat, krisis yang harus dihentikan dulu adalah kepercayaan kepada pimpinan nasional, pemerintah dan lembaga tinggi negara. Saya berpendapat bahwa krisis kepercayaan ini bersumber, bukan pada landasan hukum formalnya, konstitusional atau tidaknya, akan tetapi lebih pada legitimasinya. Presiden dan seluruh anggota kabinet, lembaga legislatif dan judikatif serta ABRI masih belum memperoleh kepercayaan tersebut secara penuh. Ini aspek diluar ekonomi yang sangat penting harus diselesaikan. Perlu saya berikan catatan di sini, pada waktu kepercayaan itu masih ada, pelaku pasar tidak terlalu menuntut, mereka menerima berbagai kekurangan yang tejadi. Akan tetapi pada waktu kepercayaan telah hilang, maka tuntutan mereka semakin banyak, menyangkut berbagai aspek diluar ekonomi-keuangan. Kita memang bisa mengatakan, tidak mau didekte pasar. Tetapi masalahnya bukan didikte atau tidak oleh pasar atau oleh IMF. Kenyataannya adalah bahwa pelaku pasar: para investor, para kreditor, atau mitra usaha akan terus menunggu sampai masalah yang berkaitan dengan aspek-aspek ini diselesaikan.

Dalam bidang ekonomi, kepercayaan pasar, baik domestik maupun asing serta kepercayaan masyarakat luas sangat tipis terhadap rupiah yang masih lemah dan tidak kunjung menguat. Hal serupa tejadi dengan perbankan dan lembaga keuangan yang lain, serta kemampuan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah pinjaman mereka. Ini memang harus ditunjukkan penanganannya yang menggambarkan bagaimana prospeknya. Jelas tidak semuanya dapat diselesaikan segera, akan tetapi program penyelesaian harus dapat dibaca dan diterima oleh pasar. Mungkin perlu disadari bahwa persepsi dan ekspektasi pelaku pasar dalam negeri dan luar negeri itu tidak selalu sama, bahkan sering berlawanan arah, karena itu menyulitkan pengelolaan yang dilakukan otorita yang bertanggung jawab dalam pengelolaan moneter.

Penanganan terhadap krisis ekonomi-keuangan ini tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh Indonesia, karena itu kerjasama dan bantuan pihak lain harus terus digalang. Dalam hal ini, program yang didukung IMF semakin penting untuk dilaksanakan secara berdisiplin. Ini tidak berarti bahwa kita harus menyerah seluruhnya pada keinginan IMF, pemerintah memang harus gigih mengusahakan, mereview, melobby,dsb. Saya melihat bahwa IMF juga terus belajar, bersedia untuk lebih menyesuaikan dengan kenyataan, tetapi ini memang harus terus diperjuangkan. Perkembangan pendekatan IMF terhadap permasalahan subsidi, pinjaman swasta, penjaminan kewajiban bank, penunjukan personalia yang menangani, dsb., menunjukkan kesungguhan IMF untuk memeperhatikan berbagai implikasi yang dapat mengganggu implementasi program restrukturisasi ekonomi. Sikap tersebut dan upaya yang terkoordinir dari team perunding lebih berpotensi menghasilkan program yang realistis.

Mungkin perlu diingat bahwa keputusan meminta bantuan IMF itu datang dari pemerintah kita, dan program yang disepakati itu adalah program Indonesia yang didukung oleh IMF. Istilah program IMF, juga yang banyak dipakai media asing IMF bail out, sebenarnya tidak tepat, karena itu berbagai kritik terhadap peran IMF juga kurang tepat. Dukungan tersebut disertai penyediaan dana dan bantuan teknis. Akan tetapi sebelum memberikan dukungan tentu saja lembaga ini ingin mengetahui bagaimanakah bentuk program tersebut, apakah sesuai dengan persyaratan kelayakan yang ada ketentuannya (conditionality, istilah yang semula tabu). Yang perlu pula diingat adalah bahwa keputusan untuk meminta bantuan ke pada lembaga multilateral ini adalah untuk memperoleh dukungan dari program ekonomi yang harus dilakukan menghadapi krisis yang melanda perekonomian agar kepercayaan pasar yang menghilang dapat kembali. Karena itu yang penting tidak hanya dananya, akan tetapi dukungan tersebut, karena IMF menjadi acuan bagi hubungan bilateral Indonesia dengan negara-negara lain yang juga kita harapkan membantu, para investor asing, serta para kreditor asing. Jadi sebenarnya, suka atau tidak suka kita memang memerlukan kehadiran IMF dan lembaga-lembaga multilateral lain, seperti World Bank dan ADB. Mendudukkan hubungan kita dengan IMF secara benar ini perlu agar tidak ada pernilaian yang sering keliru mengenai bagaimana kita mensikapi IMF.

Akan tetapi, yang sangat mendesak selama penanganan masalah-masalah ini: lemahnya rupiah, inflasi, penyehatan perbankan, pinjaman perusahaan swasta, dsb., adalah mengenai pengadaan dan distribusi bahan pokok yang sangat sulit karena sarana dan prasarana jaringan distribusi yang sangat menyedihkan sebagai akibat tindakan penjarahan dan pembakaran yang sangat brutal. Ini akan memakan waktu untuk dapat pulih, akan tetapi terutama untuk pengadaan dan distribusi bahan pokok harus segera ditangani. Bantuan dan kerjasama dari luar harus pula digalakkan dalam hal ini. Dalam pembangunan sarana dan prasarana distribusi, masalah yang dihadapi tidak hanya pembangunan fisik, akan tetapi memulihkan kepercayaan pada para pelaku yang, terutama pada saat terjadinya kekacauan, merasa sama sekali tidak memperoleh perlindungan dari aparat keamanan. Berbagai pembahasan mengenai hal ini telah dilakukan, demikian pula pemyataa Presiden Habibie. Akan tetapi jelas ini tidak cukup, apalagi hanya meminta kesadaran mereka. Mereka memerlukan jaminan perlindungan untuk tidak dijadikan korban penjarahan, pembakaran, perkosaan dari orang-orang yang seolah-olah merasa berhak melakukan perbuatan yang sangat tidak beradab ini. Tanpa adanya jaminan ini rasanya sangat sulit mengharapkan sebagian besar dari mereka bersedia beroperasi lagi.

Membangkitkan kegiatan ekspor tidak dapat ditunggu terlalu lama, ini merupakan keharusan. Karena ini sebagian menyangkut penyelesaian masalah pinjaman perbankan, maka ini harus didahulukan dalam penanganannya. Dalam beberapa hal, seperti ekspor komoditi tradisional Indonesia, meskipun kemampuan ekspor itu tetap ada, hilangnya kepercayaan perbankan negara mitra dagang kita terhadap perbankan nasional mempersulit pelaksanaan ekspor tersebut. Keputusan Pemerintah untuk meminta BI membayar tunggakan pinjaman perbankan dalam money market line serta pinjaman perdagangan berkaitan dengan kesepakatan mengenai pinjaman swasta di Frankfurt 4 Juni yang lalu mudah-mudahan dapat menggelindingkan fasilitas yang sangat vital bagi realisasi ekspor ini. Dalam impor pangan dan obat-obatan, kalaupun hubungan perbankan dalam mendukung perdagangan ini tertolong dengan adanya garansi kredit, lemahnya rupiah tetap mempersulit realisasi impor tersebut. Pinjaman dan bantuan dari berbagai negara dalam kaitan ini harus terus diupayakan dan segera dilaksanakan.

PEMBAHARUAN SIKAP

Sesuai dengan keinginan gerakan reformasi yang pada dasarnya bermaksud untuk melakukan pembaruan bangsa, dalam aspek pembahasan saya mengenai krisis ekonomi-keuangan, bangsa Indonesia harus membaharui sikap, setelah krisis dapat kita lalui. Jadi, terlebih dahulu kita harus keluar dari krisis. Tetapi sikap apa yang harus mendasari kehidupan ekonomi nasional nanti? Sikap baru dalam melanjutkan kegiatan ekonomi dan pembangunan nasional setelah kita keluar dari krisis nanti harus dilandasi pada kesadaran semua pelaku bahwa baik sebagai individu, keluarga atau kelompok, sebagai perusahaan atau negara, atau bangsa Indonesia secara keseluruhan, harus sadar bahwa kita tidak bisa hidup lebih besar pasak dari pada tiang secara terus menerus.

Dalam kehidupan ekonomi nasional yang bersifat terbuka, memang dapat berlangsung keadaan di mana terdapat kesenjangan pengeluaran investasi dan tabungan nasional yang dibiayai dengan masuknya dana luar negeri dalam berbagai bentuknya. Demikian pula sektor keuangan, suatu bank, bisa saja mengalami kesenjangan antara hak dan kewajiban dalam likuiditas harian atau mengalami mismatch, menimbulkan saldo merah pada bank sentral yang ditutup dengan fasilitas diskonto. Akan tetapi kesenjangan tersebut tidak dapat berjalan terus menerus, karena perubahan sentimen pasar atau perkembangan baru yang mendadak mudah merubah keseimbangan tersebut menjadi suatu krisis yang sulit diselesaikan. Mismatch dalam suatu bank, yang pada dasarnya merupakan masalah likuiditas, kalau berjalan berkepanjangan atau kalau sektor perbankan dalam keadaan distress, sangat mudah berubah menjadi masalah solvabilitas, yang sebaiknya tidak diselamatkan melalui fasilitas bank sentral. Untuk keseluruhan ekonomi nasional, kesenjangan pengeluaran untuk investasi dan tabungan nasional yang bejalan terus-menerus akan membawa malapetaka nasional.

Kenyataan tersebut tidak hanya untuk sektor keuangan atau aspek pembiayaan dari kegiatan ekonomi, akan tetapi juga dalam aspek lain dari kehidupan, baik secara mikro maupun makro. Ketidak mampuan, kecurangan, kemunafikan atau kepalsuan dapat dan telah berlangsung di masyarakat kita. Meritocracy yang diabaikan di sektor pemerintah dan swasta, kecurangan dalam berbagai bentuknya di sektor pemerintah dan masyarakat, yang sering dikatakan telah membudaya, semuanya merupakan bentuk kesenjangan yang pada dasarnya merupakan tindakan atau cara hidup yang mengandung sifat lebih besar pasak dari tiang. Praktek-praktek ini, ditutup dengan kepalsuan dan kemunafikan yang merajalela, telah memperparah keadaan.

Upaya mencari jalan pintas seolah-olah diterima sebagai hal yang bisa diterima atau wajar-wajar saja. Orang ingin nampak pintar membeli gelar dari master sampai doktor, bahkan jabatan gurubesar. Orang kepingin cepat kaya melakukan korupsi, kepingin berkuasa melakukan kolusi untuk menduduki sutu posisi, dst. Semua perilaku yang menggambarkan tindakan yang lebih besar pasak dari tiang ini ditutup-tutupi dengan mengagungkan sikap kepalsuan dan kemunafikan. Akan tetapi semua ini tidak dapat berkesinambungan. Semua harus dibuang dalam kehidupan pasca krisis nanti. Ini saya sebutkan di sini, hanya untuk meneruskan argumentasi saya mengenai praktek-praktek kehidupan di luar ekonomi yang harus kita tinggalkan, karena tidak dapat dipertahankan lagi. Etos kerja baru harus dikumandangkan. Kita harus bangga dengan hasil jerih payah kita sendiri, yang halal, yang sesuai dengan kemampuan dan investasi kita.

BERBAGAI CATATAN.

Secara umum telah saya kemukakan sebelumnya bahwa yang pertama adalah agar bangsa kita dapat keluar dari krisis yang melanda kehidupan ekonomi, sosial dan politik ini. Karena itu, di semua aspek ini fokus dari langkah yang harus diambil adalah menghentikan hemorrhage yang terus berlangsung ini. Dalam penyelesaian krisis ekonomi kita telah kehilangan banyak waktu, karena itu masalahnya bertambah besar, biaya yang harus dibayar semakin banyak. Dalam bidang ekonomi-keuangan, prioritasnya adalah menemukan jalan keluar mengenai bagaimana proses kemunduran ini dihentikan, bagaimana menimbulkan kestabilan yang harus dicapai dan dipertahankan sampai beberapa waktu untuk menimbulkan kepercayaan di dalam dan luar negeri.
Karena pasar menuntut adanya kestabilan politik, adanya perlindungan hukum atas hak-hak asasi pelaku pasar untuk membangkitkan kembali kegiatan mereka, maka ini harus lebih dahulu diciptakan. Ini menyangkut pimpinan nasional dan pemerintahan yang mempunyai legitimasi dan kredibilitas. Ini dapat didahului dengan suatu signal yang jelas mengenai arah ke depan. Suatu catatan yang bemada optimis perlu dikemukakan di sini. Dalam keadaan ini antara substansi dan persepsi harus diselaraskan. Tetapi, dalam waktu yang singkat persepsi itu sangat penting untuk merubah pandangan yang negatif menjadi ekspektasi yang positif. Mungkin pengalaman Thailand dan Korea dapat dijadikan harapan, bahwa turning point itu bisa terjadi. Kalau sebelumnya semua gambaran nampak suram, setelah terjadi proses pembalikan terjadi perubahan, optimisme bangkit dan kepercayaan lahir kembali. Setelah itu, perkerjaan masih banyak, jalan masih panjang, akan tetapi langkah pertama ini harus dilakukan dulu. Hasil pertama ini harus diraih, berubahnya persepsi yang dalam dua negara itu terjadi dengan perubahan pemerintahan. Kalau reformasi dilakukan oleh pemerintah yang sama, atau pada dasarnya sama, maka signal itu harus meyakinkan pelaku pasar di dalam dan luar negeri, bahwa mereka benar-benar committed.
Kalau krisis telah dilalui, maka keda keras harus dilanjutkan dengan kembali pada kegiatan pembangunan nasional. Seperti saya singgung di atas, pada waktu itu landasan kegiatan kita harus telah diperbaharui, pada dasarnya meninggalkan kebiasaan atau praktek-praktek yang tidak dapat mendukung pembangunan yang berkesinambungan (sustainable). Semua pelaku harus memperhatikan prinsip kehati-hatian (prudent), dunia usaha tidak boleh lagi highly leverage, mempunyai debt to equity ratio yang tidak sehat, apalagi dengan exposure yang terlaku tinggi resikonya. Bank dan lembaga keuangan harus benar-benar prudent, mencukupi permodalan serta mempunyai CAR yang sehat, menjalankan kegiatannya secara transparan dengan mengikuti ketentuann disclosure secara disiplin dalam sistim pengawasan yang dilaksanakan secara ketat. Ini menuntut aturan yang jelas, perlindungan hukum yang mantap. Tuntutan pasar agar dikeluarkan undang-uandang tentang kebangkrutan yang jelas adalah berkaitan dengan masalah ini.
Secara individual maupun secara keseluruhan, kegiatan dari pelaku pasar dan masyarakat luas harus menyesuaikan diri dengan kemampuan. Kesenjangan antara pengeluaran investasi nasional dan tabungan nasional tidak boleh terus menerus membengkak. Tabungan nasional Indonesia tidak buruk sama sekali (sekitar 30% dari PDB), akan tetapi dengan pengeluaran investasi yang terus-menerus jauh lebih besar (35% dari PDB atau lebih), dengan pembiayaan dari luar yang kurang berhati-hati, maka akhirnya membawa mala petaka. Tabungan masyarakat nantinya harus diupayakan meningkat lagi. Dalam hubungan ini, nampaknya pengalaman negara tetangga menunjukkan bahwa sampai tingkat tertentu maka upaya meningkatkan tabungan masyarakat perlu dibantu dengan semacam forced savings, misalnya melalui program provident funds.
Bagi pelaku dunia usaha swasta, mungkin perlu kesadaran dalam diri masing-masing, bahwa masalah ekonomi yang kita hadapi dewasa ini, sering dikatakan, timbul bukan karena anggaran pemerintah yang kurang hati-hati, tetapi sektor swasta yang kurang mengindahkan prinsip kehati-hatian (ekspansi yang berlebihan pada proyek-proyek yang kurang produktif, cenderung menimbulkan bubbles yang mudah busting, dengan sumber pembiayaan yang beresiko tinggi dalam bentuk pinjaman jangka pendek dari luar untuk pembiayaan proyek kurang produktif yang berjangka panjang tanpa adanya perlindungan). Ini harus dirubah setelah krisis kita lalui. Prinsip kehati-hatian tidak hanya harus dipegang oleh industri perbankan dan sektor keuangan lainnya, akan tetapi juga sektor riil. Konsumen yang membeli barang dan jasa tanpa memperhatikan kemampuan bayamya, terlalu hanyut oleh hedonisme, tergiur oleh kartu kredit atau kredit konsumsi yang kurang bertanggung jawab, berarti konsumen yang tidak bertanggung jawab. Produsen yang terlalu mengandalkan pada kredit perbankan atau lembaga keuangan lain sehingga debt to equity ratio tidak sehat berarti produsen yang tidak bertanggung jawab. Investasi yang terlalu besar resikonya dengan mengandalkan sumber pembiayaan yang juga terlalu besar resikonya, dst. Ini harus ditinggalkan jauh-jauh. Dari segi kebijaksanaan, memperingatkan pelaku pada waktu keadaan sedang bagus memang tidak akan efektif, ibarat orang sedang menikmati makanan yang enak diingatkan mengenai bahayanya mengidap kolesterol yang tinggi. Berbagai moral hazard yang menghinggapi pelaku ekonomi harus dihilangkan; pinjaman macet, meskipun sebenamya mampu membayar, tidak mengapa, kan nanti akan diampuni atau orang lain juga tidak bayar.
Catatan terakhir adalah mengenai apa yang diperangi dalam gerakan reformasi yang marak ini, yaitu praktek korupsi, kolusi dan nepotisme atau KKN. Ini harus benar-benar konsekuen dilaksanakan, jangan hanya menjadi slogan, sebagaimana dimasa lalu kita senang menunjukkannya. Kita telah mendengar pemyataan Presiden Habibie, kita telah pula mendengar berbagai pejabat atau wakil rakyat melakukan pengunduran diri atau menyatakan akan mengembalikan saham yang diperoleh tidak syah, dsb. Ini jelas bukan yang kita maksud dengan gerakan memerangi KKN, atau kalau semua ini baru langkah sangat awal yang harus diikuti dengan tindakan yang mendasar, bukan kepalsuan dan kemunafikan yang saya sebutkan di atas. Tindakan tambal sulam atau setengah hati, untuk mempertahankan posisi mereka tidak banyak berbeda dengan jalan KKN untuk menempati posisi tersebut sebelumnya.
Catatan dalam hal menghilangkan praktek KKN lain adalah bahwa hal ini jangan hanya terbatas pada aparat pemerintah, karena dalam kadar dan mungkin bentuk yang berbeda, hal ini juga terjadi pada sektor swasta. Mengapa hal ini juga perlu dihilangkan, karena dampaknya serupa, praktek ini menimbulkan kurang efisiennya kegiatan ekonomi masyarakat, menyumbang pada tingginya biaya ekonomi masyarakat. Dalam kaitan dengan pemberantasan KKN pada aparat pemerintahan, sektor swasta juga harus proaktif melakukannya. Mengapa demikian? Karena seperti dalam suatu transaksi, korupsi atau kolusi itu terjadi dari adanya kerjasama dua pihak, yang menerima dan yang memberi. Kesalahan pemberi upeti dalam kasus korupsi tidak hanya karena yang bersangkutan melakukan kejasama membuat kejahatan tersebut, akan tetapi hal ini juga tidak membantu pejuangan aparat yang jujur.
Suatu kecenderungan yang menyedihkan adalah bahwa sering di masyarakat kita kalau seseorang dituduh mempraktekkan KKN, yang dilakukan bukan membuktikan bahwa dia tidak melakukannya, akan tetapi menjawab dengan mengatakan bahwa orang lain juga melakukan. Padahal, bahkan kalau ini benar, tetap saja tidak menghalalkan orang melakukan tindakan tidak terpuji tersebut. Pemberantasan itu harus dimulai oleh masing-masing individu, tidak perduli apakah orang lain juga melakukan atau tidak. Sekali lagi, tindakan itu terlaksana karena kerjasama dua atau lebih pihak, yang harus menghentikan praktek bukan hanya yang menerima tetapi juga yang memberi. Jadi ini harus dilaksanakan pada aparat pemerintah, legislatif-judikatif dan keamanan serta masyarakat, tertnasuk pelaku dalam dunia usaha, dunia akademi dan bidang atau sektor lain. Semua harus dihentikan dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

SUMBER:J. Soedradjad Djiwandono
Gurubesar tetap Ilmu Ekonomi, Universitas Indonesia

Dampak Krisis Perekonomian Global Indonesia

Mengatasi Penyebab dan Dampak Krisis Ekonomi Global masih menjadi berita hangat tanpa melewati 1 (satu) hari pun dalam bulan-bulan terakhir ini. Berbicara krisis ekonomi adalah bukan berbicara tentang nasib 1 (satu) orang bahkan lebih dari itu semua karena ini menyangkut nasib sebuah bangsa. Berbagai argument dan komentar pun dilontarkan di berbagai media yang selalu memojokkan pemerintahan Yudhoyono dan BI (Bank Indonesia) Di salah satu media menyatakan bahwa Presiden Yudhoyono menyampaikan 10 langkah untuk menghadapi masalah tersebut. Empat di antaranya:
1. Meningkatkan penggunaan produksi dalam negeri
2. Memanfaatkan peluang perdagangan internasional
3. Menyatukan langkah strategis Pemerintah dengan Bank Indonesia (BI)
4. Menghindari politik non partisan untuk menghadapi krisis.
Kedengarannya memang masuk akal tapi untuk menghadapi krisis itu bukanlah semata adalah tugas pemerintah dan Bank Indonesia tapi badai krisis ini perlu dihadapi bersama jangan sampai kejadian Krisis Ekonomi Global Part II ini lebih dahsyat meluluh-lantakkan Perekonomian Indonesia seperti yang telah terladi pada Badai Krisis Moneter Part I di Era Soeharto.
Sadar atau pun tidak sadar Akibat Krisis Ekonomi Global kali in sudah sangat jauh merambah dalam berbagai strata masyarakat. Dimana-mana pengangguran semakin bertambah Income perkapita drastis menurun karena beberapa industri mulai merampingkan tenaga-kerja atau mulai meliburkan tenaga kerja tanpa batas waktu. Senada dengan hal itu investor-investor lokal dan Asing pun mulai menarik saham dalam industri-industri di Indonesia. Dari kejadian kejadian itu akan menjadikan peluang untuk Angka Kriminalitas akan melonjak naik Grafiknya di tanah air belum lagi kasus-kasus korupsi terbaikan karena bangsa ini telah disibukkan dengan masalah yang lebih di prioritaskan sehingga dengan bebasnya para koruptor meneruskan aksinya ditiap jenjang. “Selamat buat para koruptor Anda bisa keluar dari persembunyain untuk sementara Waktu. How pity a Country !”
Memang sangat Ironis di satu sisi Indonesia yang dikenal sebagai negara Agraris tapi disisi lain beberapa item bahan pokok masih mengandalkan hasil import dari negara tetangga. Yah ini mungkin salah satu kelemahan dari bangsa kita bahkan diri kita yang sebagai rakyat yang kurang berusaha secara profesional dalam mengelola asset-asset yang ada dalam lahan-lahan indonesia. Lihat saja kekayaan Alam Indonesia mulai dari hasil laut belum dapat dikelola dengan baik karena Fasilitas-fasilitas nelayan kurang memadai sehingga negara-negara lain meraup keuntungan dari hasil menangkap hasil laut dengan cara yang tidak fair. Belum lagi persediaan minyak yang semakin lama semakin menipis serta Tambang-tambang Emas yang masih dikuasai negara asing. Jadi sangat disayangkan Punya Harta yang sangat berlimpah ruah tapi tidak dapat dinikmati secara maksimal oleh bangsa ini.
Jadi memanglah pas ketika Ketua Presidium Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI ) menyatakan bahwa Krisis ekonomi global telah terjebak pada sistem kapitalisme internasional sehingga sampai saat ini sepertinya tak ada persiapan jelas menghadapi krisis keuangan global yang berawal dari runtuhnya industri keuangan di Amerika Serikat. Mereka yang krisis kita yang ”hancur-hancuran” seperti pada bursa saham sehingga menghentikan operasionalnya.
Dan kesimpulannya Indonesia belum siap menghadapi Dampak Krisis Ekonomi Global yang di motori oleh Negara Super itu. Mungkin dari beberapa uraian diatas dapat memberi gambaran bahwa kita punya potensi menghadapi krisis ini jika kita meningkatkan kesadaran sebagai masyarakat indonesia termasuk element pemerintah berikut departement terkait untuk meningkat pengelolaan sumber daya secara profesionalsehingga bangsa ini menjadi produktif dalam penyediaan hasil bumi dan dapat mandiri serta terbebas sebagai negara importir bahan pangan dan minyak bumi terbesar yang akan membalikkan keadaan menjadi negara “Pengekspor Terbesar”.

SUMBER:http://www.metris-community.com/

EKONOMI KERAKYATAN DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI RAKYAT: SUATU KAJIAN KONSEPTUAL

Ruang Ekonomi Kerakyatan Indonesia
Saat mendapat tugas untuk mebahas konsep ekonomi kerakyatan dalam kaitan dengan makalah Prof. Mubyarto tentang “Ekonomi Kerakyatan dalam Era Globalisasi dan Otonomi Daerah”, saya mencoba untuk menangkap (baca: memahami) makna kata ‘rakyat’ secara utuh. Akhirnya saya sampai pada pemahaman bahwa rakyat sendiri bukanlah sesuatu obyek yang bisa ‘ditangkap’ untuk diamati secara visual, khususnya dalam kaitan dengan pembangunan ekonomi. Kata rakyat merupakan suatu konsep yang abstrak dan tidak dapat di’tangkap’ untuk diamati perubahan visual ekonominya. Kata rakyat baru bermakna secara visual jika yang diamati adalah individualitas dari rakyat (Asy’arie, 2001). Ibarat kata ‘binatang’, kita tidak bisa menangkap binatang untuk mengatakan gemuk atau kurus, kecuali binatang itu adalah misalnya seekor tikus. Persoalannya ada begitu banyak obyek yang masuk dalam barisan binatang (tikus, kucing, ular, dll.), sehingga kita harus jelas mengatakan binatang yang mana yang bentuk visualnya gemuk atau kurus. Pertanyaan yang sama harus dikenakan pada konsep ekonomi rakyat, yaitu ekonomi rakyat yang mana, siapa, di mana dan berapa jumlahnya. Karena dalam dimensi ruang Indonesia semua orang (Indonesia) berhak untuk menyandang predikat ‘rakyat’. Buruh tani, konglomerat, koruptor pun berhak menyandang predikat ‘rakyat’. Sama seperti jika seekor kucing digabungkan dengan 100 ekor tikus dalam satu ruang, maka semuanya disebut binatang. Walaupun dalam perjalanannya seekor kucing dapat saja menelan 100 ekor tikus atas nama binatang.
Ilustrasi di atas saya sampaikan untuk membuka ruang diskusi tetang ekonomi kerakyatan dalam perspektif yang terarah dalam kerangka mengagas pikiran Prof. Mubyarto. Kita harus jelas mengatakan rakyat yang mana yang seharusnya kita tempatkan dalam ruang ekonomi kerakyatan Indonesia. Selanjutnya, bagaimana kita memperlakukan rakyat dimaksud dan apakah perlakuan terhadapnya selama ini sudah benar. Atau apakah upaya menggiring rakyat ke dalam ruang ekonomi kerakyatan selama ini sudah berada dalam koridor yang benar.
Dalam konteks ilmu sosial, kata rakyat terdiri dari satuan individu pada umumnya atau jenis manusia kebanyakan. Kalau diterjemahkan dalam konteks ilmu ekonomi, maka rakyat adalah kumpulan kebanyakan individu dengan ragaan ekonomi yang relatif sama. Dainy Tara (2001) membuat perbedaan yang tegas antara ‘ekonomi rakyat’ dengan ‘ekonomi kerakyatan’. Menurutnya, ekonomi rakyat adalah satuan (usaha) yang mendominasi ragaan perekonomian rakyat. Sedangkan ekonomi kerakyatan lebih merupakan kata sifat, yakni upaya memberdayakan (kelompok atau satuan) ekonomi yang mendominasi struktur dunia usaha. Dalam ruang Indonesia, maka kata rakyat dalam konteks ilmu ekonomi selayaknya diterjemahkan sebagai kesatuan besar individu aktor ekonomi dengan jenis kegiatan usaha berskala kecil dalam permodalannya, sarana teknologi produksi yang sederhana, menejemen usaha yang belum bersistem, dan bentuk kepemilikan usaha secara pribadi. Karena kelompok usaha dengan karakteristik seperti inilah yang mendominasi struktur dunia usaha di Indonesia.

Ekonomi Kerakyatan dan Sistem Ekonomi Pasar
Ekonomi rakyat tumbuh secara natural karena adanya sejumlah potensi ekonomi disekelilingnya. Mulanya mereka tumbuh tanpa adanya insentif artifisial apapun, atau dengan kata lain hanya mengandalkan naluri usaha dan kelimpahan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, serta peluang pasar. Perlu dipahami bahwa dalam ruang ekonomi nasional pun terdapat sejumlah aktor ekonomi (konglomerat) dengan bentuk usaha yang kontras dengan apa yang diragakan oleh sebagian besar pelaku ekonomi rakyat. Memiliki modal yang besar, mempunyai akses pasar yang luas, menguasai usaha dari hulu ke hilir, menguasai teknologi produksi dan menejemen usaha modern. Kenapa mereka tidak digolongkan juga dalam ekonomi kerakyatan?. Karena jumlahnya hanya sedikit sehingga tidak merupakan representasi dari kondisi ekonomi rakyat yang sebenarnya. Atau dengan kata lain, usaha ekonomi yang diragakan bernilai ekstrim terhadap totalitas ekonomi nasional. Golongan yang kedua ini biasanya (walaupun tidak semua) lebih banyak tumbuh karena mampu membangun partner usaha yang baik dengan penguasa sehingga memperoleh berbagai bentuk kemudahan usaha dan insentif serta proteksi bisnis. Mereka lahir dan berkembang dalam suatu sistem ekonomi yang selama ini lebih menekankan pada peran negara yang dikukuhkan (salah satunya) melalui pengontrolan perusahan swasta dengan rezim insentif yang memihak serta membangun hubungan istimewa dengan pengusaha-pengusaha yang besar yang melahirkan praktik-praktik anti persaingan.
Lahirnya sejumlah pengusaha besar (konglomerat) yang bukan merupakan hasil derivasi dari kemampuan menejemen bisnis yang baik menyebabkan fondasi ekonomi nasional yang dibangun berstruktur rapuh terhadap persaingan pasar. Mereka tidak bisa diandalkan untuk menopang perekonomian nasional dalam sistem ekonomi pasar. Padahal ekonomi pasar diperlukan untuk menentukan harga yang tepat (price right) untuk menentukan posisi tawar-menawar yang imbang. Saya perlu menggaris bawahi bahwa yang patut mendapat kesalahan terhadap kegagalan pembangunan ekonomi nasional selama regim orde baru adalah implementasi kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang tidak tepat dalam sistem ekonomi pasar, bukan ekonomi pasar itu sendiri. Dalam pemahaman seperti ini, saya merasa kurang memiliki justifikasi empirik untuk mempertanyakan kembali sistem ekonomi pasar, lalu mencari suatu sistem dan paradigma baru di luar sistem ekonomi pasar untuk dirujuk dalam pembangunan ekonomi nasional. Bagi saya dunia “pasar” Adam Smith adalah suatu dunia yang indah dan adil untuk dibayangkan. Tapi sayangnya sangat sulit untuk diacu untuk mencapai keseimbangan dalam tatanan perekonomian nasional. Karena konsep “pasar” yang disodorkan oleh Adam Smit sesungguhnya tidak pernah ada dan tidak pernah akan ada. Namun demikian tidak harus diartikan bahwa konsep pasar Adam Smith yang relatif bersifat utopis ini harus diabaikan. Persepektif yang perlu dianut adalah bahwa keindahan, keadilan dan keseimbangan yang dibangun melalui mekanisme “pasar”nya Adam Smith adalah sesuatu yang harus diakui keberadaannya, minimal telah dibuktikan melalui suatu review teoritis. Yang perlu dilakukan adalah upaya untuk mendekati kondisi indah, adil, dan seimbang melalui berbagai regulasi pemerintah sebagai wujud intervensi yang berimbang dan kontekstual. Bukan sebaliknya membangun suatu format lain di luar “ekonomi pasar” untuk diacu dalam pembangunan ekonomi nasional, yang keberhasilannya masih mendapat tanda tanya besar atau minimal belum dapat dibuktikan melalui suatu kajian teoritis-empiris.
Mari kita membedah lebih jauh tentang konsep ekonomi kerakyatan. Pengalaman pembangunan ekonomi Indonesia yang dijalankan berdasarkan mekanisme pasar sering tidak berjalan dengan baik, khusunya sejak masa orde baru. Kegagalan pembangunan ekonomi yang diragakan berdasarkan mekanisme pasar ini antara lain karena kegagalan pasar itu sendiri, intervensi pemerintah yang tidak benar, tidak efektifnya pasar tersebut berjalan, dan adanya pengaruh eksternal. Kemudian sejak sidang istimewa (SI) 1998, dihasilkan suatu TAP MPR mengenai Demokrasi Ekonomi, yang antara lain berisikan tentang keberpihakan yang sangat kuat terhadap usaha kecil-menengah serta koperasi. Keputusan politik ini sebenarnya menandai suatu babak baru pembangunan ekonomi nasional dengan perspektif yang baru, di mana bangun ekonomi yang mendominasi regaan struktur ekonomi nasional mendapat tempat tersendiri. Komitmen pemerintah untuk mengurangi gap penguasaan aset ekonomi antara sebagian besar pelaku ekonomi di tingkat rakyat dan sebagian kecil pengusaha besar (konglomerat), perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak. Hasil yang diharapkan adalah terciptanya struktur ekonomi yang berimbang antar pelaku ekonomi dalam negeri, demi mengamankan pencapaian target pertumbuhan (growth) (Gillis et al., 1987). Bahwa kegagalan kebijakan pembangunan ekonomi nasional masa orde baru dengan keberpihakan yang berlebihan terhadap kelompok pengusaha besar perlu diubah. Sudah saatnya dan cukup adil jika pengusaha kecil –menengah dan bangun usaha koperasi mendapat kesempatan secara ekonomi untuk berkembang sekaligus mengejar ketertinggalan yang selama ini mewarnai buruknya tampilan struktur ekonomi nasional. Sekali lagi, komitmen politik pemerintah ini perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak. Hal yang masih kurang jelas dalam TAP MPR dimaksud adalah apakah perspektif pembangunan nasional dengan keberpihakan kepada usaha kecil-menengah dan koperasi ini masih dijalankan melalui mekanisme pasar? Dalam arti apakah intervensi pemerintah dalam bentuk keberpihakan kepada usaha kecil-menengah dan koperasi ini adalah benar-benar merupakan affirmative action untuk memperbaiki distorsi pasar yang selama ini terjadi karena bentuk campur tangan pemerintah dalam pasar yang tidak benar? Ataukah pemerintah mulai ragu dengan bekerjanya mekanisme pasar itu sendiri sehingga berupaya untuk meninggalkannya dan mencoba merujuk pada suatu mekanisme sistem ekonomi yang baru ?. Nampaknya kita semua berada pada pilahan yang dilematis. Mau meninggalkan mekanisme pasar dalam sistem ekonomi nasional, kita masih ragu-ragu, karena pengalaman keberhasilan pembangunan ekonomi negara-negara maju saat ini selalu merujuk pada bekerjanya mekanisme pasar. Mau merujuk pada bekerja suatu mekanisme yang baru (apapun namanya), dalam prakteknya belum ada satu negarapun yang cukup berpengalaman serta yang paling penting menunjukkan keberhasilan nyata, bahkan kita sendiri belum berpengalaman (ibarat membeli kucing dalam karung). Bukti keragu-raguan ini tercermin dalam TAP MPR hasil sidang istimewa itu sendiri, dimana demokrasi ekonomi nasional tidak semata-mata dijalankan dengan keberpihakan habis-habisan pada usaha kecil-menengah dan koperasi, tapi perusahaan swasta besar dan BUMN tetap mendapat tempat bahkan mempunyai peran yang sangat strategis.
Bagi saya, sebenarnya keragu-raguan ini tidak perlu terjadi, jika kita semua jernih melihat dan jujur untuk mengakui bahwa kegagalan-kegagalan pembangunan ekonomi nasional selama ini terjadi bukan disebabkan oleh karena ketidakmampuan mekanisme pasar mendukung keberhasilan pembangunan ekonomi nasional, tetapi lebih disebabkan karena pasar sendiri tidak diberi kesempatan untuk bekerja secara baik. Bentuk campur tangan pemerintah (orde baru) yang seharusya diarahkan untuk menjamin bekerjanya mekanisme pasar guna mendukung keberhasilan pembangunan ekonomi nasional, ternyata dalam prakteknya lebih diarahkan pada keberpihakan yang berlebihan pada pengusaha besar (konglomerat) dalam bentuk insentif maupun regim proteksi yang ekstrim. Pengalaman pembangunan ekonomi nasional dengan kebijakan proteksi bagi kelompok industri tertentu (yang diasumsikan sebagai infant industry) dan diharapkan akan menjadi “lokomotif “ yang akan menarik gerbong ekonomi lainnya, pada akhirnya bermuara padaincapability dan inefficiency dari industri yang bersangkutan (contoh kebijakan pengembangan industri otomotif). Periode waktu yang telah ditetapkan untuk berkembang menjadi suatu bisnis yang besar dalam skala dan skop serta melibatkan sejumlah besar pelaku ekonomi di dalamnya, menjadi tidak bermakna saat dihadapkan pada kenyataan bahwa bisnis yang bersangkutan masih tetap berada pada level perkembangan “bayi”, karena dimanjakan oleh berbagai insentif dan berbagai bentuk proteksi.
Saya juga kurang setuju dengan pendapat bahwa mekanisme pasar tidak dapat menjalankan fungsi sosial dalam pembangunan ekonomi nasional. Pendapat seperti ini juga tidak benar secara absolut. Buktinya negara-negara maju yang selalu merujuk pada bekerjanya mekanisme pasar secara baik, mampu menjalankan fungsi sosial dalam pembangunan ekonominya secara baik pula. Sudah menjadi pengetahuan yang luas bahwa negara-negara maju (termasuk beberapa negara berkembang, seperti Singapura) mempunyai suatu sistem social security jangka panjang (yang berfungsi secara permanen) untuk membantu kelompok masyarakat yang inferior dalam kompetisi memperoleh akses ekonomi. Justru negara-negara yang masih setengah hati mendorong bekerjanya mekanisme pasar (seperti Indonesia) tidak mampu menjalankan fungsi sosial dalam pembangunan ekonominya secara mantap. Sebenarnya sudah banyak program jaminan sosial temporer semacam JPS di Indonesia, namun pelaksanaannya masih jauh dari memuaskan, karena kurang mantapnya perencanaan, terjadi banyak penyimpangan dalam implementasi, serta lemahnya pengawasan.
Fungsi sosial dapat berjalan dengan baik dalam mekanisme pasar, jika ada intervensi pemerintah melalui perpajakan, instrumen distribusi kekayaan dan pendapatan, sistem jaminan sosial, sistem perburuhan, dsb. Ini yang namanyaaffirmative action yang terarah oleh pemerintah dalam mekanisme pasar (Bandingkan dengan pendapat Anggito Abimanyu, 2000).
Jadi yang salah selama ini bukan mekanisme pasar, tetapi kurang adanya affirmative action yang jelas oleh pemerintah demi menjamin bekerjanya mekanisme pasar. Yang disebut dengan affirmative action seharusnya lebih dutujukkan padadisadvantage group (sebagian besar rakyat kecil), bukan sebaliknya pada konglomerat. Kalau begitu logikanya, maka kurang ada justifikasi logis yang jelas untuk mengabaikan bekerjanya mekanisme pasar dalam mendukung keberhasilan pembangunan ekonomi nasional. Apalagi dengan merujuk pada suatu mekanisme sistem ekonomi yang baru. Ini sama artinya dengan “sakit di kaki, kepala yang dipenggal”. Bagi saya, harganya terlalu mahal bagi rakyat jika kita mencoba-coba dengan sesuatu yang tidak pasti. Pada saat yang sama, rakyat sudah terlalu lama menunggu dengan penuh pengorbanan, untuk melihat keberhasilan pembangunan ekonomi nasional yang dapat dinikmati secara bersama.
Perlu dicatat, bahwa disamping obyek keberpihakan selama pemerintah orde baru dalam kebijakan ekonomi nasionalnya salah alamat, pemerintah sendiri kurang mempunyai acuan yang jelas tentang kapan seharusnya phasing-out processdiintrodusir dalam tahapan intervensi, demi mengkreasi bekerjanya mekanisme pasar dalam program pembangunan ekonomi nasional. Akibatnya tidak terjadi proses pendewasaan (maturity) terhadap obyek keberpihakan (dalam mekanisme pasar) untuk mengambil peran sebagai lokomotif keberhasilan pembangunan ekonomi nasional.
Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang salah atau kurang sempurna dengan konsep ekonomi kerakyatan?. Sejak awal saya katakan bahwa semua pihak perlu mendukung affirmative action policy pada usaha kecil-menengah dan koperasi yang diambil oleh pemerintah sesuai dengan tuntutan TAP MPR. Pembangunan harus dikembangkan dengan berbasiskan ekonomi domestik (bila perlu pada daerah kabupaten/kota) dengan tingkat kemandirian yang tinggi, kepercayaan diri dan kesetaraan, meluasnya kesempatan berusaha dan pendapatan, partisipatif, adanya persaingan yang sehat, keterbukaan/demokratis, dan pemerataan yang berkeadilan. Semua ini merupakan ciri-ciri dari Ekonomi Kerakyatan yang kita tuju bersama (Prawirokusumo, 2001). Kita akan membahas lebih jauh tentang kekurangan konsep ekonomi kerakyatan yang di dengungkan oleh pemerintah pada sub-pokok bahasan di bawah ini.

Ekonomi Kerakyatan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat
Perlu digarisbawahi bahwa ekonomi kerakyatan tidak bisa hanya sekedar komitmen politik untuk merubah kecenderungan dalam sistem ekonomi orde baru yang amat membela kaum pengusaha besar khususnya para konglomerat. Perubahan itu hendaknya dilaksanakan dengan benar-benar memberi perhatian utama kepada rakyat kecil lewat program-program operasional yang nyata dan mampu merangsang kegiatan ekonomi produktif di tingkat rakyat sekaligus memupuk jiwa kewirausahaan. Tidak dapat disangkal bahwa membangun ekonomi kerakyatan membutuhkan adanya komitmen politik (political will), tetapi menyamakan ekonomi kerakyatan dengan praktek membagi-bagi uang kepada rakyat kecil (saya tidak membuat penilaian terhadap sistem JPS), adalah sesuatu kekeliruan besar dalam perspektif ekonomi kerakyatan yang benar. Praktek membagi-bagi uang kepada rakyat kecil sangat tidak menguntungkan pihak manapun, termasuk rakyat kecil sendiri (Bandingkan dengan pendapat Ignas Kleden, 2000). Pendekatan seperti ini jelas sangat berbeda dengan apa yang dimaksud dengan affirmative action. Aksi membagi-bagi uang secara tidak sadar menyebabkan usaha kecil-menengah dan koperasi yang selama ini tidak berdaya untuk bersaing dalam suatu mekanisme pasar, menjadi sangat tergantung pada aksi dimaksud. Sebenarnya yang harus ada pada tangan obyek affirmative action adalah kesempatan untuk berkembang dalam suatu mekanisme pasar yang sehat, bukan cash money/cash material. Jika pemahaman ini tidak dibangun sejak awal, maka saya khawatir cerita keberpihakan yang salah selama masa orde baru kembali akan terulang. Tidak terjadi proses pendewasaan (maturity) dalam ragaan bisnis usaha kecil-menengah dan koperasi yang menjadi target affirmative action policy. Bahkan sangat mungkin terjadi suatu proses yang bersifat counter-productive, karena asumsi awal yang dianut adalah usaha kecil-menengah dan koperasi yang merupakan ciri ekonomi kerakyatan Indonesia tumbuh secara natural karena adanya sejumlah potensi ekonomi disekelilingnya. Mulanya mereka tumbuh tanpa adanya insentif artifisial apapun, atau dengan kata lain hanya mengandalkan naluri usaha dan kelimpahan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, serta peluang pasar. Modal dasar yang dimiliki inilah yang seharusnya ditumbuhkembangkan dalam suatu mekanisme pasar yang sehat. Bukan sebaliknya ditiadakan dengan menciptakan ketergantungan model baru pada kebijakan keberpihakan dimaksud.
Selanjutnya, pemerintah harus mempunyai ancangan yang pasti tentang kapan seharusnya pemerintah mengurangi bentuk campur tangan dalam affirmative action policynya, untuk mendorong ekonomi kerakyatan berkembang secara sehat. Oleh karena itu, diperlukan adanya kajian ekonomi yang akurat tentang timing dan process di mana pemerintah harus mengurangi bentuk keberpihakannya pada usaha kecil-menengah dan koperasi dalam pembangunan ekonomi rakyat. Isu ini perlu mendapat perhatian tersendiri, karena sampai saat ini masih banyak pihak (di luar UKM dan Koperasi) yang memanfaatkan momen keberpihakan pemerintah ini sebagai free-rider. Justru kelompok ini yang enggan mendorong adanya proses phasing-out untuk mengkerasi mekanisme pasar yang sehat dalam rangka mendorong keberhasilan program ekonomi kerakyatan. Kita semua masih mengarahkan seluruh energi untuk mendukung program keberpihakan pemerintah pada UKM dan koperasi sesuai dengan tuntutan TAP MPR. Tapi kita lupa bahwa ada tahapan lainnya yang penting dalam program keberpihakan dimaksud, yaitu phasing-out process yang harus pula dipersiapkan sejak awal. Kalau tidak, maka sekali lagi kita akan mengulangi kegagalan yang sama seperti apa yang terjadi selama masa pemerintahan orde baru.

Pemberdayaan Ekonomi Rakyat di NTT
Kita telah membahas tentang konsep ekonomi kerakyatan dalam pembangunan ekonomi nasional melalui program-program keberpihakan pemerintah terhadap UKM dan Koperasi. Masih ada masalah lain yang perlu dibahas dalam hubungan dengan internal condition UKM dan Koperasi. Beberapa kajian empiris menunjukkan bahwa permasalahan umum yang dihadapi oleh UKM dan Koperasi adalah: keterbatasan akses terhadap sumber-sumber permbiayaan dan permodalan, keterbatasan penguasaan teknologi dan informasi, keterbatasan akses pasar, keterbatasan organisasi dan pengelolaannya (Asy’arie, 2001).
Komitmen keberpihakan pemerintah pada UKM dan Koperasi di dalam perspektif ekonomi kerakyatan harus benar-benar diarahkan untuk mengatasi masalah-masalah yang disebut di atas. Program pengembangan ekonomi rakyat memerlukan adanya program-program operasional di tingkat bawah, bukan sekedar jargon-jargon politik yang hanya berada pada tataran konsep. Hal ini perlu ditegaskan, agar pembahasan tentang ekonomi kerakyatan tidak hanya berhenti pada suatu konsep abstrak (seperti pembahasan tentang konsep ‘binatang’ di atas), tetapi perlu ditindalanjuti dengan pengembangan program-program operasional yang diarahkan untuk mengatasi persoalan keterbatasan akses kebanyakan rakyat kecil. Ini adalah suatu model pendekatan struktural (structural approach).
Pada era otonomisasi saat ini, konsep pengembangan ekonomi kerakyatan harus diterjemahkan dalam bentuk program operasional berbasiskan ekonomi domestik pada tingkat kabupaten dan kota dengan tingkat kemandirian yang tinggi. Namun demikian perlu ditegaskan bahwa pengembangan ekonomi kerakyatan pada era otonomisasi saat ini tidak harus ditejemahkan dalam perspektif territorial. Tapi sebaiknya dikembangkan dalam perspektif ‘regionalisasi’ di mana di dalamnya terintegrasi kesatuan potensi, keunggulan, peluang, dan karakter sosial budaya.
Pada tingkat regional NTT, masih terdapat persoalan mendasar yang ‘mengurung’ para pengusaha kecil-menengah dan Koperasi (termasuk di dalamnya berbagai bentuk usaha di bidang pertanian) untuk melakukan rasionalisasi dan ekspansi usaha. Sekalipun sudah banyak program pemberdayaan ekonomi yang langsung menyentuh rakyat di tingkat bawah telah dilaksanakan baik oleh pemerintah maupun oleh lembaga-lembaga non-pemerintah (NGOs), tetapi sebagian besar rakyat kecil masih sulit untuk mengaktualisasikannya dalam ragaan usaha mereka. Tingkat pencapaian tertinggi yang paling banyak diperoleh dari program-program dimaksud adalah hanya terbatas pada tumbuhnya kesadaran berpikir dan hasrat untuk maju. Tetapi ada semacam jarak antara kesadaran berpikir dan realitas perilaku (Bandingkan dengan pendapat Musa Asy’arie, 2001). Sekedar sebagai pembanding disajikan data realisasi dan tunggakan Kredit Usaha Tani (KUT) selama periode 1996-2000. Jumlah realisasi KUT yang telah disalurkan pada petani sejak tahun 1996 sampai tahun 2000 kurang lebih 35, 6 milyar dengan jumlah tunggakan (pokok+bunga) sebesar kurang lebih 26,1 milyar (Laporan Gubernur NTT, 2002). Atau dengan kata lain tingkat keberhasilan KUT di NTT hanya mencapai kurang dari 26 %. Selanjutnya, data yang diperoleh dari Biro Perekonomian Seta NTT menunjukkan bahwa sejak ditetapkannya TAP MPR tentang demokrasi ekonomi yang menekankan adanya keberpihakan yang jelas terhadap UKM dan Koperasi di Indonesia, jumlah KK miskin di NTT malah mengalami kenaikan yang cukup murad sebesar 55 % selama periode 1998-2002.
Persoalan mendasar yang mengurung ini, mungkin ada kaitannya dengan sistem nilai budaya yang sudah mengakar pada diri pelaku ekonomi rakyat di NTT secara turun temurun. Sistem nilai budaya ini yang banyak mendeterminasi perilaku aktor ekonomi rakyat di NTT, termasuk di dalamnya cara pandang tentang usaha, cara pandang tentang tingkat keuntungan, cara pengelolaan keuangan, sikap terhadap mitra dan kompetitor, strategei menghadapi resiko, dsb. Oleh karena itu saya setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa program pemberdayaan ekonomi rakyat, khususnya di NTT, sebaiknya dimulai dengan program rekayasa sosial-budaya (socio-cultural engineering) untuk merubah inner life dan mengkondisikan suatu tatanan masyarakat yang akomodatif terhadap tuntutan pasar untuk maju. Ini adalah suatu model pendekatan lain yang disebut pendekatan kultural (cultural approach).

________________________________________

SUMBER :Fredrik Benu – Dosen Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana, Kupang
Makalah disampaikan pada Seminar Pemberdayaan Ekonomi Rakyat di Provinsi NTT, tgl. 26 Nopember 2002. di Hotel Kristal, Kupang.

PUSTAKA
Abimanyu, Anggito. 2000, Ekonomi Indonesia Baru, kajian dan alternatif solusi menuju pemulihan, Elex Media Komputindo, Jakarta.
Asy’arie, Musa. 2001, Keluar dari Krisis Multi Dimensi, Lembaga Studi Filsafat Islam, Yogyakarta.
Gillis, Malcolm; Perkins, Dwight, H., Roemer Donald R. 1987, Economics of Development, 2nd Ed. W.W.Norton & Companny, New York.
Kleden, Ignas. 2000, Persepsi dan Mispersepsi tentang Pemulihan Ekonomi Indonesia, Pokok-Pokok pikiran dalam Menggugat Masa Lalu, Menggagas Masa Depan Ekonomi Indonesia, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta.
Gubernur Nusa Tenggara Timur, 2002, Laporan disampaikan pada kunjungan Menteri Pertanian Republik Indonesia di Propinsi Nusa Tenggara Timur, tidak dipublikasikan.
Prawirokusumo, Soeharto. 2001, Ekonomi Rakyat, Kosep, Kebijakan, dan Strategi, BPFE, Yogyakarta.
Simanjuntak, Djisman, S. 2000, Ekonomi Pasar Sosial Indonesia, dalam Menggugat Masa Lalu, Menggagas Masa Depan Ekonomi Indonesia, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta.
Tara, Azwir Dainy, 2001, Strategi Membangun Ekonomi Rakyat, Nuansa Madani, Jakarta.